043 Konsep Wahyu dan Nabi dalam Perspektif Agama oleh Assoc. Prof. Dr. Anis Malik Thoha, Universiti Islam Sultan Sharif Ali, Brunei Darussalam

Sinopsis 

Kursus ini membedah konsep wahyu dan nabi yang merupakan salah satu konsep kunci (key concept) dan bagian yang tak terpisahkan dalam beragama Islam. Kursus ini diawali dengan rationale konsesus para ulama mengenai urgensi wahyu dan nabi dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, hal ini mengantarkan kepada diskusi mengenai universalitas fenomena wahyu dan nabi ini yang meniscayakan sumber yang satu dan sama, dengan pesan utama yang tak mungkin berbeda pula. Sehingga keberagaman wujud dan jenis wahyu langit yang diturunkan kepada serangkaian para nabi dan rasul sepanjang zaman justeru semakin menegaskan kebenaran dan otentisitas (the truth and authenticity) satu hakikat besar: “Al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW sebagai wahyu dan Nabi pamungkas”. Konsep wahyu dan nabi yang sedemikian ini, pada gilirannya, berimplikasi terhadap konstruk epistemologis īmān dalam Islam sebagai gnoseological category (i.e., kategori kognitif yang bukan hanya selaras dengan, tapi juga mengappresiasi, ilmu pengetahuan dan logika) sebagaimana yang diuraikan Isma’il R. Al-Faruqi dan Al-Ghazālī sebelumnya, yang merupakan conditio sine qua non dalam merajut konstruk budaya/peradaban yang dicitakan dalam Islam. 

Minggu 1:
Definisi wahyu dan nabi
Urgensi wahyu dan nabi dalam kehidupan manusia
Keterbatasan akal manusia adalah fakta. Inilah yang dijadikan rationale dibalik konsesus para ulama mengenai urgensi wahyu dan nabi dalam kehidupan manusia. Mungkin dengan akal murninya, manusia sampai pada kesadaran adanya Tuhan. Tapi apa/siapa itu Tuhan, nama dan sifat-sifatnya, apa hak-hakNya/kewajiban kita terhadapNya, dll., semuanya itu hanya mungkin diketahui melalui wahyu dan nabi. 



Minggu 2: Mu‘jizāt dan eksistensi wahyu
Karena sifat dan hakikat wahyu yang metafisikal, maka untuk menegaskan eksistensinya dan mendapatkan recognition diperlukan suatu variable penyerta yang di luar batas kemampuan manusia, atau yang dikenal dengan Mu‘jizāt. 



Minggu 3: Universalitas fenomena wahyu dan nabi
Fenomena keterbatasan akal manusia adalah universal, bukan hanya berlaku pada masyarakat primitive dan pra-modern saja, tapi juga masyarakat modern dan bahkan post-moder/ultra-modern sekalipun. Oleh karena itu, fenomena wahyu dan nabi ini adalah universal, yang secara epistemologis meniscayakan sumber yang satu dan sama. 


Minggu 4: Kesatuan pesan utama risalah-risalah langit (al-risālāt al-samāwiyyah)
Keberagaman wujud dan jenis wahyu langit yang diturunkan kepada para nabi dan rasul sepanjang sejarah seharusnya memacu akal dan nalar manusia agar tergerak mengeksplorasi rahasia-rahasia yang tersembunyi di belakangnya serta berkontemplasi mengenai pesan-pesan wahyu yang terdahulu hingga yang terakhir dalam konteks sosio-empiris-historis masing-masing, sehingga dapat mengenal pasti hakikat keberagaman (diversity, plurality; ta‘addud, tanawwu‘) dan perbedaan (difference; ikhtilāf) yang sebenarnya: i.e., “perbedaan keragaman” (ikhtilāf al-tanawwu‘) dan bukan “perbedaan antagonisme” (ikhtilāf al-taḍād). Kemudian pada akhirnya terbentuk satu pandangan yang integral dan terpadu (Tawḥīdic worldview; al-taṣawwur al-tawḥīdī) bahwa “pesan utama” langit itu tak mungkin berbeda. 



Minggu 5: Universalitas wahyu dan nabi pamungkas
Tawḥīdic worldview mengekspresikan dirinya secara utuh, sempurna dan komprehensif dalam wahyu yang terakhir (pamungkas), yang sekaligus menjadi saksi dan bukti tentang kebenaran dan otentisitas (the truth and authenticity) satu hakikat besar yang universal: “Al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW sebagai wahyu dan Nabi pamungkas”. 



Minggu 6: Implikasi wahyu dan nabi terhadap konstruk epistemologis
Konsep wahyu dan nabi yang sedemikian ini, pada gilirannya, berimplikasi terhadap konstruk epistemologis īmān dalam Islam sebagai gnoseological category (yakni kategori kognitif yang bukan hanya selaras dengan, tapi juga mengappresiasi, ilmu pengetahuan dan logika) sebagaimana yang diuraikan Isma’il R. Al-Faruqi dan Al-Ghazālī sebelumnya. Maka konsep īmān ini menjawab dengan gamblang persoalan “rasionalitas-irrasionalitas agama” yang jamak dikenal di kalangan sarjana ilmu perbandingan agama modern, seperti Rudolf Otto, sebagai summum bonum, sui generis, sensus communis, sensus numinis, dsb. yang sangat enigmatic dan mencabar. Menurut Al-Faruqi, īmān adalah “the first principle of rationality”.


Minggu 7: Implikasi aksiologis wahyu dan nabi terhadap konstruk budaya dan peradaban
Pada akhirnya, secara aksiologis konsep wahyu dan nabi merupakan conditio sine qua non dalam merajut konstruk budaya/peradaban yang dicitakan dalam Islam. Konsep ini memposisikan segala sesuatu pada titik orbitnya yang sebenarnya dalam wujud ideal (ideal existence) maupun dalam wujud nyata (factual existence) di jagad raya. Manusia menemukan jatidirinya, posisinya, peran dan tugasnya sebagai “hamba Allah” (‘abd Allāh) dan khalīfah (vicegerent)-Nya dengan amanah utama “memakmurkan bumi” (‘imārat al-arḍ) sesuai dengan kehendak-irādah-Nya (‘ibādah).



 



Post a Comment

0 Comments